Daftar Isi
- A.Alur Perjalanan Dakwah di Nusantara
- a).Teori mekah
- b).Teori Gujarat
- c).Teori Persia
- d).Teori Cina
- B.Cara-Cara Dakwah di Nusantara
- a).Perdagangan
- b).Perkawinan
- c).Pendidikan
- d).Hubungan Sosial
- e).Kesenian
- C.Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara
- C.Cek Hasil UH 2
A. Alur Perjalanan Dakwah di Nusantara
Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Padahal jika kita melihat sejarah lahirnya agama Islam yang dibawa para Nabi, Indonesia tidak begitu dikenal. Namun berkat kegigihan para dai dan ulama, perkembangan Islam di Nusantara begitu pesat sampai saat ini.
Lalu bagaimanakah alur perjalanan dakwah di Nusantara?
Sejak
zaman pra sejarah, penduduk Nusantara dikenal sebagai pelayar-pelayar tangguh
yang sanggup mengarungi samudera lepas. Menurut catatan sejarah, pada awal masehi
sudah ada jalur pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan
berbagai daerah di Asia Tenggara. Wilayah Nusantara yang menjadi lintasan
penting perdagangan adalah wilayah Nusantara bagian barat, yakni Malaka dan
sekitarnya. Daerah tersebut sudah terkenal sejak zaman dahulu karena kaya akan hasil
bumi. Daerah tersebut kemudian menjadi perlintasan para pedagang Cina dan
India. Sementara itu pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara
abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang dari Lamuri (Aceh), Barus,
Palembang, Sunda Kelapa, dan Gresik.
Bersamaan
dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah pada abad
ke-7 Masehi (abad ke-1 Hijriyah). Malaka menjadi pusat utama lalu lintas
perdagangan dan pelayaran. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi sekaligus
berdakwah menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di
Indonesia ini sejak abad ke-1 Hijriyah.
Para
ahli sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan.
Sebelum Islam datang, Nusantara berada dalam pengaruh agama Hindu-Buddha.
Pengaruh-pengaruh tersebut berdampak pada pola hidup masyarakat di Indonesia.
Namun, dalam perkembangannya pengaruh Islam jauh lebih kuat daripada agama
Hindu-Buddha.
Masuknya
agama Islam di Nusantara melalui jalur perdagangan berlangsung dengan cara-cara
damai. Ajaran islam mudah diterima dan mendapat perhatian dari penduduk
Nusantara. Berbagai sumber sejarah menyatakan bahwa agama Islam sudah masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M. Namun keberadaan para pemeluk ajaran Islam menjadi
jelas pada abad ke-13 yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai di
Aceh sebagai kerajaan Islam yang pertama. Proses masuknya Islam di Indonesia
berjalan secara bertahap dan melalui banyak jalan . Menurut para ahli sejarah,
teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia adalah sebagai berikut.
a) Teori Mekah
Menurut
teori Mekah, proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung
dari
Mekah atau Arab. Terjadi pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Para
pedagang
dari Timur Tengah memiliki misi dagang dan dakwah sekaligus. Bahkan motivasi dakwah
menjadi pendorong utama mereka datang ke Nusantara. Orangorang Arab yang datang
ini
kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad saw. Yang menggunakan gelar “sayid”
atau “syarif” di depan namanya. Menurut para ahli sejarah, jalur perdagangan
antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum masehi.
b). Teori Gujarat
Teori
Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat adalah sebuah wilayah di
India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Menurut teori ini, orang-orang
Arab bermazhab Sya!’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyah
(abad ke-7 Masehi). Namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia bukanlah dari
orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan
berdagang ke Nusantara. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan
dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab
c). Teori Persia
Teori
Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
daerah Persia atau Parsi (sekarang Iran). Sebagai buktinya, ada kesamaan budaya
dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi
tersebut antara lain adalah tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro.
d). Teori Cina
Menurut
teori Cina, proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di tanah Jawa)
berasal dari para pedagang Cina. Mereka telah berhubungan dagang dengan penduduk
Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia, yakni sejak masa
Hindu-Buddha. Ajaran Islam sendiri telah sampai di Cina pada abad ke-7 M. Pada
masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Quanzhou, Kanton, Zhang-zhao,
dan
pesisir Cina selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam.
Sebagai
pembuktian teori Cina ini, bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah
dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari
Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Bukti lainnya adalah
adanya masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Cina atau Tiongkok di
berbagai tempat di Pulau Jawa. Pelabuhan penting seperti di Gresik, misalnya,
menurut catatancatatan Cina, diduduki pertama kali oleh para pelaut dan
pedagang Cina. Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan
tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing-masing
teori tersebut. Semua teori di atas semakin memperkaya khazanah keilmuan
tentang sejarah Islam di Nusantara.
Agama Islam
berkembang di Indonesia disebarkan oleh berbagai golongan, yakni para pedagang,
mubaligh, su, dan para wali. Para wali menyebarkan Islam di Nusantara,
khususnya di tanah Jawa. Di antara sekian banyak wali, yang terkenal adalah
Wali Sanga (Wali Sembilan).
Berikut
ini adalah nama-nama wali sanga.
1) Sunan
Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, yang diduga berasal dari Persia dan berkedudukan
di Gresik.
2) Sunan
Ampel atau Raden Rahmat, berkedudukan di Ampel, Surabaya.
3) Sunan
Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Raden Rahmat (Sunan
Ampel). Ia tinggal di Bonang, dekat Tuban.
4) Sunan
Giri atau Prabu Satmata atau Sultan Abdul Fakih yang semula bernama Raden Paku,
berkedudukan di Bukit Giri, dekat Gresik.
5) Sunan
Drajat atau Syarifuddin, juga putra dari Sunan Ampel dan berkedudukan di
Drajat, dekat Sedayu, Surabaya.
6) Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Syeikh Nurullah berasal dari Pasai,
sebelah utara Aceh yang berkedudukan di Gunung Jati, Cirebon.
7) Sunan
Kudus atau Ja’far Sodiq, putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan
Ngandung di Jipang Panolan, berkedudukan di Kudus.
8) Sunan
Kalijaga, nama aslinya Raden Mas Syahid. Beliau adalah putra Tumenggung
Wilatikta, Bupati Tuban yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.
9) Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra dari Sunan Kalijaga berkedudukan di Gunung Muria, Kudus.
B. Cara-Cara Dakwah di Nusantara
Para
da’i dan mubaligh menyebarkan Islam di Nusantara dengan caracara sebagai
berikut:
a. Perdagangan
Proses
penyebaran Islam melalui jalur perdagangan dilakukan oleh para pedagang muslim
pada abad ke-7 sampai abad ke-16 M. Para pedagang tersebut berasal dari Arab,
Persia, dan India. Jalur perdagangan saat itu menghubungkan Asia Barat, Asia
Timur, dan Asia Tenggara. Para pedagang muslim menggunakan kesempatan itu untuk
berdakwah menyebarkan agama Islam. Mereka memiliki akhlak mulia, santun, dapat
dipercaya dan jujur. Hal inilah yang menjadi daya tarik sehingga banyak
penduduk Nusantara secara sukarela masuk Islam. Banyak pedagang muslim yang singgah
dan bertempat tinggal di Indonesia. Sebagian ada yang tinggal sementara ada
pula yang menetap di Indonesia. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang
menjadi perkampungan muslim.
b. Perkawinan
Sebagian
pedagang Islam tersebut ada yang menikah dengan wanita pribumi, terutama putri
bangsawan
atau putri raja. Dari pernikahan itu mereka mendapat keturunan. Disebabkan
pernikahan itulah banyak keluarga bangsawan atau raja masuk Islam, sehingga para
pedagang tersebut menetap dan membentuk perkampungan muslim yang disebut
Pekojan. Perkampungan Pekojan banyak dijumpai di beberapa kota di Indonesia hingga
saat ini.
c. Pendidikan
Para
mubaligh mendirikan lembaga pendidikan Islam di beberapa wilayah Nusantara.
Lembaga pendidikan Islam ini berdiri sejak pertama kali Islam masuk di Indonesia.
Nama lembaga-lembaga Pendidikan Islam itu berbeda tiap daerah. Di Aceh
misalnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam di sana dikenal dengan nama
meunasah, dayah, dan rangkang. Di Sumatera Barat dikenal adanya surau. Di Kalimantan
dikenal dengan nama langgar. Sementara di Jawa dikenal dengan pondok pesantren.
Di sanalah berlangsung pembinaan, Pendidikan dan kaderisasi bagi calon kiai dan
ulama. Mereka tinggal di pondok atau asrama dalam jangka waktu tertentu menurut
tingkatan kelasnya.
Setelah
menamatkan pendidikan pesantren mereka kembali ke kampung masing-masing untuk
menyebarkan Islam. Melalui cara inilah Islam terus berkembang menyebar ke
daerah-daerah yang terpencil.
d. Hubungan Sosial
Para
mubaligh yang menyebarkan Islam di Nusantara pandai dalam menjalin hubungan
sosial dengan masyarakat. Mereka yang telah tinggal menetap di Nusantara aktif
membaur dengan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan sosial. Sikap mereka
santun, memiliki kebersihan jasmani dan ruhani, memiliki kepandaian yang
tinggi, serta dermawan. Silaturahmi, bekerja sama, gotong-royong mereka lakukan
bersama penduduk Nusantara dengan tujuan menarik simpati agar masuk Islam. Pada
kesempatan tertentu mereka menyampaikan ajaran Islam dengan cara bijaksana,
tidak memaksa dan merendahkan. Islam mengajarkan persamaan hak dan derajat bagi
semua manusia karena kemulaian manusia tidak ditentukan oleh kastanya melainkan
karena ketakwaannya kepada Allah Swt. Islam juga mengajarkan umatnya untuk
saling membantu, yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah
dan saling meringankan beban orang lain. Dengan demikian ajaran Islam semakin
mudah diterima oleh penduduk Nusantara.
e. Kesenian
Sebelum
Islam datang, kesenian dan kebudayaan Hindu-Buddha telah mengakar kuat di
tengah-tengah masyarakat. Kesenian tersebut tidak dihilangkan tapi justru
digunakan sebagai sarana dakwah. Cabangcabang seni yang dikembangkan para
penyebar Islam di antaranya
adalah
seni bangunan, seni pahat dan ukir, seni tari, seni musik dan seni sastra. Pada
seni bangunan misalnya masjid, mimbar, dan ukiran-ukirannya masih menunjukkan
motifmotif seperti yang terdapat pada candi-candi Hindu atau Buddha. Motif
tersebut dapat dilihat pada Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan di
Cirebon, Masjid Agung Banten, dan Masjid Baiturrahman
di
Aceh. Demikian pula dengan pertunjukan wayang kulit. Mereka tidak pernah
meminta upah untuk menggelar pertunjukkan, penonton atau pengunjung gratis
menyaksikan pertunjukkan tersebut. Penonton hanya diminta agar mengikutinya
mengucapkan “Dua Kalimat Syahadat”. Hal ini berarti para penonton telah masuk
Islam. Sebagian besar cerita wayang kulit dikutip dari cerita Mahabharata dan Ramayana,
namun sedikit demi sedikit dimasukkan nilai-nilai ajaran
Islam.
C. Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara
a. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang terletak di
pesisir timur laut Aceh, kabupaten Lhok Seumawe atau Aceh Utara sekarang.
Lahirnya kerajaan Islam yang pertama di Indonesia itu diperkirakan mulai awal
atau pertengahan abad ke-13 M. Sebagaimana diketahui proses dakwah Islam di
daerah-daerah pantai terjadi sejak abad ke-7 M. Kawasan Aceh yang strategis dan
berada di pintu masuk Selat Malaka menjadikan Aceh sebagai tempat pertemuan para
pedagang dari berbagai daerah di Nusantara dan para pedagang dari luar negeri,
khususnya para pedagang Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau
pengaruh Islam sangat kuat di Aceh dan diwujudkan dalam bentuk munculnya
kerajaan Islam Samudra Pasai.
Salah
satu bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai adalah adanya nisan kubur terbuat
dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja
pertama Samudera Pasai, Sultan Malik Al- Saleh meninggal pada bulan Ramadan
tahun 696 H yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.
Pada
tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis. Selanjutnya kerajaan
Samudera Pasai mulai mundur dan berada dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.
Kerajaan Samudera Pasai berakhir
pada
tahun 1524 M.
b. Kerajaan Aceh
Kerajaan
Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar.
Nama Aceh menanjak dengan cepat pada abad ke-17. Sejak itu seluruh Aceh berada
di bawah naungan Aceh Besar yang berpusat di Kutaraja. Sultan pertama yang
memerintah dan sekaligus sebagai pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat
Syah (1514-1528 M). Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah
Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M.
Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah
melebarkan kekuasaannya ke Sumatera Timur.
Peletak
dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar
Al-Qahar. Berbeda dengan Sultan Ali Mughayat Syah yang bekerja sama dengan
Portugis, Sultan Alauddin Riayat Syah justru berusaha melawan Portugis. Dalam menghadapi
tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Turki
Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam lain di
Indonesia.
Pada
masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh mencapai puncak kekuasaannya.
Bandar Aceh dibuka menjadi Pelabuhan internasional dengan jaminan pengamanan
gangguan laut dari kapal perang Portugis. Penaklukan demi penaklukan tidak
hanya dilakukan terhadap tanah Aceh dan sekitarnya, melainkan juga meluas jauh
ke luar Aceh. Ini menjadikan kekuasaan Aceh membentang dari daerah Deli sampai
dengan Semenanjung Malaka. Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di
pesisir Timur dan Barat Sumatera. Namun, usaha Aceh untuk menguasai Malaka yang
diduduki oleh Portugis berulang kali mengalami kegagalan. Bahkan untuk
mengalahkan Portugis,
Sultan
bekerja sama dengan musuh Portugis yaitu Belanda dan Inggris. Pada masa Sultan
Iskandar Muda itulah disusun suatu undang-undang tentang tata pemerintahan yang
disebut Adat Makuta Alam. Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan
digantikan oleh menantunya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M). Masa pemerintahannya
tidak lama karena ia tidak memiliki kepribadian dan kecakapan yang kuat seperti
Sultan Iskandar Muda. Penggantinya adalah permaisurinya sendiri, yaitu putri
Sultan Iskandar Muda yang bernama Sya!atu’ddin.Sejak Sultan Iskandar Muda
wafat, Aceh terus menerus mengalami kemunduran.
c. Kerajaan Demak
Kerajaan
Demak terletak di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kerajaan ini merupakan kerajaan
Islam pertama dan terbesar di pesisir utara Jawa. Wilayah Demak sebelumnya
merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit. Kerajaan ini tercatat menjadi
pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Nusantara. Kerajaan Demak
didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 M. Beliau merupakan putra Prabu Kertabumi,
seorang raja Majapahit. Setelah tahta ayahnya jatuh ke tangan Girindra Wardhana
dari Keling (Daha) dan Demak menjadi terancam, terjadilah peperangan antara
Demak dan Majapahit yang dipimpin oleh Girindra Wardhana dan keturunannya,
Prabu Udara,
hingga
tahun 1518 M. Majapahit mengalami kekalahan dan pusat kekuasaan bergeser ke
Demak.
Sejak
itu Demak berkembang menjadi besar dan menguasai jalur perdagangan di
Nusantara. Wilayah kekuasaan Demak cukup luas, meliputi daerah sepanjang pantai
utara Pulau Jawa, sedangkan daerah pengaruhnya sampai ke Palembang, Jambi,
Banjar dan Maluku.
Pada
tahun 1518 M Raden Patah digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus.
Sebelum menduduki tahta, Pati Unus pernah memimpin armada laut Demak dalam
menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1513 M. Namun, penyerangan itu gagal.
Sekembalinya dari Malaka ia mendapat gelar Pangeran Sabrang Lor. Setelah Pati
Unus naik tahta, ia tidak mencoba lagi menyerang Malaka. Ia tetap memperkuat pertahanan
lautnya agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Sikap permusuhan
Demak
terhadap Portugis ternyata sangat merugikan Portugis dan Bandar Malaka karena
Demak tidak lagi mengirimkan barang-barang dagangannya ke Malaka. Para pedagang
dari negara
lain
juga enggan datang berdagang ke Bandar Malaka. Kekuasaan Kerajaan Demak
berakhir pada tahun 1568 M. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan dari
Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.
Kerajaan Pajang (1568-1586)
Kerajaan
Pajang adalah penerus dari kerajaan Demak. Kesultanan yang terletak di daerah
Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah
pedalaman pulau Jawa. Sultan atau raja pertama kesultanan ini adalah Jaka
Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi. Jaka Tingkir
bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukannya yang disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat
pengakuan dari adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Demak
kemudian hanya menjadi kadipaten yang dipimpin oleh Arya Pangiri, putra Sunan
Prawoto. Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan
diangkat menjadi bupati di Mataram (sekitar Kota Gede Yogyakarta) sebagai
imbalan atas keberhasilannya menumpas
Aria
Penangsang. Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan
Hadiwijaya.
Setelah
Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi bupati
di Mataram, yang terkenal dengan nama Panembahan Senopati. Ternyata ia tidak puas
menjadi bupati. Ia ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa. Ia mulai
memperkuat sistem pertahanan Mataram, baik dalam jumlah, kualitas prajurit
maupun persenjataannya. Hadiwijaya yang mengetahui hal itu segera mengirimkan pasukannya
ke Mataram. Peperangan sengit terjadi pada tahun 1582 M. Namun, prajurit Pajang
menderita kekalahan besar. Sultan Hadiwijaya menderita sakit dan akhirnya
wafat. Setelah itu, terjadilah perebutan kekuasaan di antara para bangsawan.
Pangeran
Pangiri (menantu Hadiwijaya yang menjabat Bupati Demak) datang menyerbu Pajang
untuk merebut tahta. Hal itu ditentang keras olah para bangsawan Pajang yang
bekerja sama dengan Sutawijaya dari Mataram. Akhimya, Pangeran Pangiri beserta pengikutnya
dapat dikalahkan dan diusir dari Pajang. Setelah suasana aman, Pangeran Benowo
(putra Hadiwijaya) menyerahkan tahta kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan
pusat pemerintahannya ke Mataram (1586 M.). Sejak itu berdirilah Kerajaan
Mataram. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni
di Kotagede. Sutawijaya kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin
Panatagama, sedangkan Pangeran Benowo diangkat menjadi bupati Pajang.
e. Kerajaan Mataram Islam (abad 17-19)
Kerajaan
Mataram Islam berdiri pada tahun 1586 dan raja pertamanya adalah Sutawijaya
yang bergelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” artinya Panglima Perang
dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah
tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Kerajaan Mataram mencapai puncak kebesarannya
pada masa pemerintahan Sultan
Agung
Hanyakrakusuma (1613-1645 M). Hal itu merupakan cerminan dari kebesaran jiwa,
keberanian,
keuletan, dan kecakapan serta kuatnya kepribadian Sultan Agung. Ia adalah
seorang
militer yang ulung, organisator yang berhasil, ahli politik, ahli sastra, ahli
!lsafat,
dan
sangat mementingkan urusan agama.
Dalam
sejarah Islam, kesultanan mataram memiliki peran yang penting dalam perjalanan
sejarah
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini terlihat dari semangat raja-raja
untuk
memperluas
daerah kekuasaan, dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, hingga
mengembangkan kebudayaan yang bercorak Islam di Jawa. Pada masa Sultan Agung
banyak prestasi besar yang dicapai, antara lain sebagaimana berikut.
•
Memperluas daerah kekuasaannya meliputi Jawa-Madura (kecuali Banten dan
Batavia), Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.
•
Mengatur dan mengawasai wilayahnya yang luas itu langsung dari pemerintah
pusatnya (Kota Gede).
•
Melakukan kegiatan ekonomi yang bercorak agraris dan maritim. Mataram adalah
pengekspor beras terbesar pada masa itu.
•
Melakukan mobilisasi militer secara besar-besaran sehingga mampu menundukkan
daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa dan mampu menyerang Belanda di
Batavia sampai dua kali. Andaikata Batavia tidak dipagari tembok-tembok yang
tinggi, benteng-benteng yang kuat, dan persenjataan yang modern, sudah pasti
Batavia jatuh di tangan Mataram.
•
Mengubah perhitungan tahun Jawa Hindu (Saka) dengan tahun Islam (Hijriah) yang
berdasarkan peredaran Bulan (sejak tahun 1633 M).
•
Menyusun karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Sastra Gending dan kitab
suluk. Misalnya Suluk Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada
abdi raja majapahit yang bernama Wujil
•
Menyusun kitab undang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum Islam
dengan adat-istiadat Jawa yang disebut Surya Alam.
f.
Kerajaan Banjar
Kerajaan
Banjar adalah kerajaan Islam di pulau Kalimantan, tepatnya di provinsi
Kalimantan Selatan saat ini. Pusat Kerajaan Banjar yang pertama adalah daerah
di sekitar Kuin Utara (Banjarmasin sekarang). Namun setelah keraton di Kuin
dihancurkan oleh Belanda, pusat kerajaan dipindahkan ke Martapura. Kerajaan ini
berdiri pada tahun 1526 M dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudera) sebagai Sultan
pertama. Seiring dengan berjalannya waktu, kerajaan Banjar semakin
berkembang
dan bertambah luas wilayahnya. Wilayah kekuasaan kerajaan Banjar meliputi
Banjarmasin, Martapura, Tanah Laut, Margasari, Amandit, Alai, Marabahan, Banua Lima,
serta daerah hulu sungai Barito. Wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar semakin luas
hingga ke Tanah Bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau, Kutai, Kotawaringin, Landak,
Sukadana dan Sambas. Semua wilayah tersebut adalah wilayah kerajaan Banjar
(yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang, kerajaan Banjar menguasai
hampir seluruh pulau kalimantan).
Kerajaan
Banjar runtuh pada saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905M. Perang
Banjar merupakan peperangan melawan Belanda. Raja terakhir adalah Sultan
Muhammad Seman (1862 –
1905M).
Beliau wafat pada saat melakukan pertempuran dengan Belanda di Puruk Cahu
g.
Kerajaan Gowa-Tallo
Pada
awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama
Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa:
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan
Kalili. Kemudian semua komunitas bergabung dan sepakat membentuk Kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat
di daerah Sulawesi Selatan.
Di
Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16 terdapat banyak kerajaan bercorak Hindu,
tetapi yang terkenal adalah Gowa, Tallao, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Pada
tahun 1605 Sultan Alaudin (1591 – 1639 M) dari Gowa masuk Islam berkat adanya
dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Sulaeman dari Minangkabau. Maka sejak saat itu
kerajaan Gowa resmi menjadi kerajaan Islam. Islamnya raja Gowa segera diikuti
oleh rakyatnya. Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya dapat menguasai
kerajaan-kerajaan lainnya. Dua kerajaan itu lazim disebut Kerajaan Makassar.
Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada abad 16 yang lebih popular dengan
sebutan kerajaan kembar “Gowa-
Tallo”.
Dua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua
Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapai satu rakyat”). Oleh karena itu,
kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar. Dari Makassar, agama Islam
disebarkan ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Kalimantan Timur, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Pada
pertengahan abad ke-17 Makassar atau Gowa berada pada puncak kejayaannya. Pada
masa itu dapat dikatakan bahwa hamper seluruh daerah di Indonesia bagian timur
mulai Pulau Sangir Talaud sebelah utara, Kutai di bagian barat, serta daerah
Marege (Australia) di bagian selatan, sudah merasakan pengaruh kekuasaan
Kerajaan Gowa. Pemerintahan kerajaan Gowa mencapai puncaknya terutama di bawah
pemerintahan Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan
Malikulsaid (1639-1653 M) atau lebih dikenal Sultan Malikussaid (1639-1653 M).
Kekuasaan dan pengaruh kerajaan Gowa semakin luas meliputi seluruh wilayah
Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia. Kerajaan Gowa ketika itu
telah mampu menjalin hubungan akrab dengan raja-raja di Nusantara. Tidak hanya itu,
bahkan Gowa juga menjalin hubungan internasional dengan rajaraja dan pembesar
dari negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja
Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spanyol dan Mufti Besar
Arabia.
Setelah memerintah kerajaan Gowa selama 16 tahun, tanggal 5 November 1653 Sultan Malikussaid wafat. Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI (1654-1660 M) atau yang lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin bersikap tegas dan tidak mau tunduk kepada Belanda. Pada tahun 1654-1655 M terjadi pertempuran hebat antara kerajaan Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. Pada bulan April 1655 pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu. Sultan Hasanuddin juga berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menundukkan negara-negara kecil di Sulawesi Selatan, termasuk kerajaan Bone. Raja Bone (Aru Palaka) diusir dari negerinya. Setelah Belanda mengetahui bahwa Bandar Makassar cukup ramai dan banyak menghasilkan beras, Belanda mulai mengirimkan utusannya ke Makassar untuk membuka hubungan dagang. Utusan itu diterima baik dan Belanda sering datang ke Makassar, tetapi hanya untuk berdagang. Setelah Belanda sering datang ke Makassar, mereka mulai membujuk Sultan Hasanuddin untuk bersama-sama menyerbu Banda (pusat rempah-rempah). Belanda juga menganjurkan agar Makassar tidak menjual berasnya kepada Portugis. Namun, semua ajakan Belanda itu ditolak. Antara Makassar dan Belanda sering terjadi konik karena persaingan dagang. Permusuhan Makassar dengan Belanda diawali dengan terjadinya insiden penipuan pada tahun 1616 M. Saat itu para pembesar Makassar diundang untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi temyata mereka dilucuti sehingga terjadilah perkelahian seru yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Makassar membunuh awak-awak kapal yang mendarat di Sumba.
Orang-orang
Belanda pun juga sering menyerang perahu-perahu Makassar yang berdagang ke
Maluku. Keadaan semakin meruncing dan akhirnya pecah menjadi perang terbuka.
Dalam peperangan tersebut Belanda sering mengalami kesulitan dalam menundukkan Makassar
sehingga Belanda memperalat Aru Palaka (Raja Bone) untuk mengalahkan Makassar.
Peperangan
demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa,
membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh
terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama
setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang
sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
h.
Kerajaan Ternate
Kerajaan
Ternate berdiri pada abad ke-13, ibu kotanya terletak di Sampalu (Pulau
Ternate). Selain Kerajaan Ternate di Maluku, juga telah berdiri
kerajaan-kerajaan lain, yaitu Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara
kerajaan-kerajaan itu, Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak
menghasilkan rempah-rempah sehingga Ternate banyak dikunjungi oleh
pedagang-pedagang dari Jawa, Melayu, Cina, dan Arab. Selain didatangi para
pedagang, Ternate juga memiliki kapal-kapal dagang yang sering berlayar ke
daerah-daerah lain.
Menurut
catatan orang Portugis, raja di Maluku yang mula-mula memeluk agama Islam
adalah
Raja
Ternate, yaitu Gapi Baguna atau Sultan Marhum yang masuk Islam karena menerima
pengaruh dakwah dari Datuk Maulana Husin. Ia memerintah tahun 1465-1485 M.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya, Zainal Abidin.
Pada
tahun 1495 M. Zainal Abidin mewakilkan pemerintahannya kepada keluarganya
karena ia memperdalam pengetahuan agama Islam kepada Sunan Giri dan kemudian ke
Malaka. Setelah kembali ke Ternate, Zainal Abidin sangat giat menyebarkan agama
Islam ke pulaupulau
di
sekitarnya, bahkan sampai ke Filipina Selatan. Zainal Abidin hanya memerintah
sampai tahun 1500 M. Secara berturut-turut yang kemudian memerintah di Ternate
adalah Sultan
Sirullah,
Sultan Khairun, dan Sultan Baabullah. Sejak pemerintahan Sultan Khairun, di
Maluku telah berdatangan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Di antara
mereka terjadi persaingan yang ketat sehingga akhimya terjadi konik. Bangsa
Portugis berhasil mendirikan benteng di Ternate, yaitu Benteng Sao Paulo dengan
dalih bahwa benteng tersebut dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore
yang bersekutu dengan Spanyol. Namun, lambat laun bangsa Portugis melakukan
tindakan-tindakan yang menimbulkan kebencian rakyat Ternate. Misalnya melakukan
kegiatan monopoli perdagangan, bersikap angkuh dan kasar, serta ikut campur
masalah intern
Kesultanan
Ternate.
Penguasa
Ternate yang menentang Portugis adalah Sultan Khairun yang memerintah pada
tahun 1550 M. sampai 1570 M. Ia secara tegas menolak kehadiran para misionaris
Portugis di Ternate. Hal itu membuat Portugis khawatir akan terusir dari bumi
Ternate sehingga dengan dalih mengadakan perjanjian perdamaian Portugis di
bawah pimpinan De Mesqiuta, membunuh Sultan Khairun pada tahun 1570 M. Rakyat
Ternate di bawah pimpinan putra Sultan Khairun, yaitu Sultan Baabullah,
akhirnya mengangkat senjata melawan bangsa Portugis. Setelah benteng Portugis
dikepung selama lima tahun, pada tahun 1575 M. Sultan Baabullah berhasil
mengusir Portugis dari Ternate.
Di
bawah pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mencapai masa
kejayaannya. Wilayah dan pengaruhnya sangat luas meliputi daerah Mindanau
(Filipina), seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Karena wilayahnya
yang luas serta pelayaran dan perdagangannya yang maju, Sultan Baabullah
mendapat gelar Yang Dipertuan di 72 pulau. Untuk menjaga keamanan wilayahnya,
Ternate memiliki 100 kapal kora-kora. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga
tersebar sangat luas. Kerajaan Ternate telah berhasil membangun armada laut
yang cukup kuat sehingga mampu melindungi wilayahnya yang cukup luas tersebut. Setelah
Sultan Baabullah wafat, kerajaan Ternate mulai melemah.
Pada
tahun 1580 M. kerajaan Spanyol dan Portugal menyerang Ternate. Sultan Said
Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Filipina. Kekalahan demi
kekalahan yang dialami memaksa Ternate meminta bantuan Belanda. Belanda
bersedia membantu dengan syarat VOC diberi hak monopoli perdagangan di Maluku.
Akhirnya kerajaan Ternate berhasil mengalahkan Spanyol namun dengan imbalan
yang sangat mahal. Belanda secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada
tanggal 26 Juni 1607 M. Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di
Maluku. Pada tahun 1607 M. pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate
yang merupakan benteng pertama mereka di Nusantara.
Semakin
lama kekuasan dan pengaruh Belanda di Ternate semakin kuat. Bersamaan dengan
itu pula terjadi pemberontakan dan kon!ik internal di kerajaan Ternate,
sehingga kerajaan Ternate mulai melemah dan dan akhirnya runtuh.
i.
Kerajaan Tidore
Kerajaan
Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku
Utara. Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah
raja-raja Ternate dan Tidore, raja Tidore pertama adalah Syahadati alias
Muhammad Naqal yang naik tahta sekitar tahun 1081 M. Baru pada raja yang ke-9,
yaitu Cirililiati yang kembali ingin memeluk agama Islam, berkat dakwah Syekh
Mansur dari Arab. Setelah masuk Islam bersama para pembesar kerajaan lainnya, ia
mendapat gelar Sultan Jamaluddin. Putra sulungnya juga masuk Islam karena
dakwah Syekh Mansur. Agama Islam masuk pertama kali di Tidore sekitar tahun
1471 M. (menurut catatan Portugis).Setelah Ternate berhasil meluaskan
wilayahnya dan membentuk persekutuan yang disebut Uli Lima, Kerajaan Tidore
juga berhasil memperluas pengaruhnya ke Halmahera, Pulau Raja Ampat, Seram
Timur, dan Papua yang dipersatukan dalam persekutuan Uli Siwa. Demikian juga Kerajaan
Bacan dan Jailolo juga tenggelam dalam pengaruh Kerajaan Tidore. Kerajaan
Tidore merupakan penghasil cengkih yang besar dan sangat laku di pasaran Eropa
sehingga banyak bangsa Eropa yang datang ke Tidore untuk mencari cengkih,
misalnya bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Pada awalnya Kerajaan
Ternate
dan Tidore dapat hidup berdampingan dan tidak pernah terjadi kon!ik. Kerajaan
Ternate
dan
Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) adalah dua
kerajaan yang memiliki peran penting dalam menghadapi kekuatan-kekuatan asing
yang ingin menguasai Maluku. Seiring berjalannya waktu, kedua kerajaan ini justru
bersaing memperebutkan kekuasaan politik di Maluku.
Kerajaan
Ternate dan Tidore merupakan daerah penghasil rempahrempah, seperti pala dan
cengkeh, sehingga daerah ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Wilayah
Maluku bagian timur dan pantai-pantai Papua, dikuasai oleh kerajaan Tidore,
sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi, dan
sampai ke Flores dan Mindanao (Filipina) dikuasai oleh kerajaan Ternate.
Namun,
setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Maluku, mulailah terjadi pertentangan
karena Ternate dan Tidore bersaing menawarkan harga rempah-rempah, serta
pendirian benteng yang dihadiahkan kepada partner dagang sebagai penghargaan. Pada
tahun 1512 M. bangsa Portugis dan Spanyol memasuki Maluku. Portugis pada saat
itu memilih bersahabat dengan Ternate, sedangkan Spanyol yang datang kemudian
bersahabat dengan Sultan Tidore. Sejak saat itulah benih-benih permusuhan mulai
timbul. Pada tahun 1529 M. Portugis yang dibantu oleh Ternate dan Bacan
menyerang Tidore dan Spanyol. Dalam peperangan ini Portugis mengalami
kemenangan sehingga Portugis dapat menguasai perdagangan rempah-rempah di
seluruh Maluku. Setelah menguasai Maluku, Portugis mulai melakukan Tindakan sewenang-wenang
terhadap rakyat Maluku. Kedua kerajaan tersebut akhirnya sadar bahwa keduanya
harus bersatu untuk mengusir penjajahan Portugis di Maluku. Berkat kerja sama
kedua kerajaan tersebut akhimya Portugis mengalami kekalahan tahun 1575 M. dan menyingkir
ke Ambon. Pada tahun 1605 M. Belanda berhasil mendesak Portugis di Ambon dan
menguasainya.
Kerajaan
Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku
(1789-1805 M), yaitu seorang penguasa yang berani dan cerdas. Pada tahun 1801
M. beliau menyerang Ternate sehingga Ternate dan Tidore berhasil dipersatukan.
Di samping itu, Sultan Nuku berhasil mengadu domba antara Belanda dan Inggris sehingga
Belanda dapat diusir dari Tidore. Setelah Belanda kalah serta terusir dari
Tidore dan Ternate, Inggris tidak mendapatkan apa-apa kecuali hubungan dagang biasa.
Sejak itu Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, dan
Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Pelayaran
dan perdagangan maju pesat sehingga waktu itu Maluku mengalami zaman keemasan
dan tidak terikat oleh bangsa mana pun. Wilayahnya cukup luas yaitu meliputi
Seram, Halmahera, Kepulauan Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah
adiknya sendiri, Zainal Abidin (1805-1810 M.).